Friday, November 1, 2013

Sulapan Raksasa Properti di Pondok Cabe

Apa yang terjadi tatkala kita di hari kerja  ataupun jam sibuk menyusuri Kelurahan Pondok Cabe, Kota Tangerang Selatan? Hampir pasti jawaban pertanyaan itu sebagai berikut: bersua dengan kemacetan lalu lintas nan cukup berat. Jawaban lain sangat mungkin sebagai berikut: menikmati kemacetan dengan melihat papan penunjuk arah kompleks real estat yang bertaburan di sana. Perkembangan sektor real estat di Pondok Cabe memang lumayan sekalipun  sejauh ini akses jalan dari/ke sana masih kecil, dan macet.

Bersamaan itu, perkembangan serupa terjadi di kawasan tetangga Pondok Cabe. Di Kecamatan Sawangan (Depok, Jawa Barat) kini kompleks real estat terus bermunculan. Dan jangan lupa bahwa Kecamatan Cinere (Depok, Jawa Barat) telah lebih dulu berderap kencang, telah sejak lama dikenal sebagai salah satu kawasan real estat bergengsi di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi).

Jadi, Pondok Cabe disandingi oleh dua kawasan lain di mana sektor real estat  berkembang  baik seperti yang telah disebutkan. Itu adalah Sawangan dan Cinere. Kalau Cinere sebagai salah satu tetangga telah lama berkembang baik—bahkan di lokasi tertentu telah kehabisan land bank, bagaimana kira-kira untuk Pondok Cabe ke depan? Akankah sepesat Cinere?

Ditentukan Dua Pihak

Mengacu data statistik dari Pemerintah Kota Tangerang Selatan, ada dua Kelurahan Pondok Cabe. Ada Kelurahan Pondok Cabe Udik dengan luas 483 hektar, dan Kelurahan Pondok Cabe Ilir yang punya luas 396 hektar. Jadi, total luas dua kelurahan itu melebihi 800 hektar. Dan dua kelurahan itu dipayungi oleh Kecamatan Pamulang yang seluas 2.682 hektar; total jumlah penduduk Kecamatan Pamulang per tahun 2009 di 217.466 jiwa.

Kepesatan perkembangan real estat di satu kawasan sering ditentukan oleh beberapa pihak. Pertama, sudah tentu oleh Pemerintah Daerah setempat. Bagaimana tata ruang yang dirancang? Mereka merencanakan membentuk sebuah kawasan untuk apa? Apakah sebagian besar dari kawasan itu dirancang untuk permukiman, atau untuk apa lagi? Dan seperti apa infrastruktur yang disediakan untuk menopang rencana tersebut? Sebagus apapun rencana pengembangan kawasan, tentu harus diiringi perkembangan infrastruktur—jalan raya dan lain-lain—yang memadai.

Per tahun 2009, luas area permukiman di Kota Tangerang Selatan seluas 9.941 hektar. Itu memangsa porsi 67,54 persen dari luas kota yang sebesar 14.719 hektar. Dari gambaran ini, terlihat jelas bahwa mayoritas “habitat” Kota Tangerang Selatan (termasuk Pondok Cabe) adalah sebagai area permukiman.

Pun, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Tangerang Selatan merancang RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) yang membentuk kota itu sebagai livable dan high tech city. Dalam hal ini, mempunyai pusat teknologi, kota itu akan dibangun dengan sistem grid yang memudahkan konektivitas antar-wilayah. Itu mengingat letak kota yang strategis, menjadi penghubung tiga propinsi. Perencanaan jalur transportasi yang baik diharapkan menciptakan kawasan hunian yang nyaman (liveable) bagi warga. Dengan semua itu terlihat bahwa, sebagai bagian dari Kota Tangerang Selatan, sektor real estat ataupun permukiman di Pondok Cabe berpotensi terus berderap. Dalam hal ini, tata ruang  Pemerintah Kota Tangerang Selatan mendukung penuh hal itu.

Kemudian, pihak kedua yang bisa berperan besar mengerek laju sektor real estat sebuah kawasan adalah tangan-tangan dahsyat developer besar. Suka atau tidak, hal ini harus diakui. Dan contoh hal itu bisa ditemui dengan mudah di Jabodetabek.

Pengamat dari Federasi Pembangunan Perkotaan Indonesia, Budi Santoso, menjelaskan bahwa kepesatan sektor real estat di Serpong (juga terletak di Kota Tangerang Selatan) menjadi contoh pas peran dahsyat developer besar. “Selain membangun properti, developer besar sering bersedia membangun sendiri infrastruktur jalan. Dan itu penting bagi pengembangan kawasan. Kalau hanya mengandalkan Pemerintah Daerah, sektor real estat sering sulit berkembang,” kata dia.

Sekadar tambahan, ada fakta bahwa kini lebih dari setengah area di Kota Tangerang Selatan dikuasai oleh kalangan developer. Jadi, memang di tangan merekalah “nasib” kota itu ditentukan. Pada titik inilah, Pondok Cabe seakan menemui sebuah titik cerah. Pasalnya, beberapa developer besar telah ataupun akan menyinggahi kawasan tersebut. Telah lama, satu developer terkemuka membesut kompleks perumahan seluas 60-an hektar di Pondok Cabe.

Kemudian, satu developer besar lain diinformasikan siap membesut kompleks real estat seluas 50-an hektar di Pondok Cabe. Dikabarkan, area itu tak hanya diisi kompleks perumahan. Tapi, diisi pula oleh kompleks perkantoran, pusat belanja modern (mal), kompleks apartemen, dan lain-lain. Dua kawasan real estat seluas puluhan hektar itu menyandingi sejumlah perumahan berukuran lahan lebih kecil—beberapa di antara itu berwujud cluster (blok perumahan)—yang telah banyak terdapat di Pondok Cabe. Dua kawasan itu berpotensi memicu pertumbuhan sektor real estat di sana.

Saat ini, rumah ataupun properti lain di Pondok Cabe cenderung membidik segmen konsumen kelas menengah. Jadi, dalam hal segmen tersebut, Pondok Cabe belum seperti kawasan Cinere yang telah lama dikenal sebagai salah satu kantung pemukiman kelas menengah ke atas di Jabodetabek—khususnya di lokasi yang dikembangkan Grup Megapolitan. Nah, manakala developer besar yang membesut Pondok Cabe lebih banyak, kemungkinan kenaikan segmen tersebut bisa lebih besar. Dan nilai keseluruhan real estat di sana turut meloncat.

Yang terjadi di Kota Bekasi belum lama ini pas menjadi ilustrasi. Tatkala satu developer besar mengembangkan kompleks CBD kelas menengah ke atas di pusat kota, harga unit real estat di sekitarnya ikut terkerek. Dulu saat kehadiran CBD itu masih di titik sangat awal, sejumlah pemilik unit rumah ataupun ruko (rumah toko) di sekitarnya ikut menaikkan harga jual.

Berkaca dari itu, kehadiran developer besar di Pondok Cabe berpeluang menjadi trigger point bagi kenaikan segmen real estat di sana. Dari yang sekarang lebih di kelas menengah, bergeser ke kelas menengah ke atas. Dan sudah tentu, besutan developer besar itu berpotensi semakin meriuhramaikan keseluruhan sektor real estat di Pondok Cabe—terlepas dari kelas jalan di sana yang saat ini belum memadai, masih berukuran kecil.

Bila segmen konsumen itu naik, Pondok Cabe sangat mampu menjadi duplikat dari kawasan Cinere. Dengan kata lain, dalam tahun-tahun ke depan, Pondok Cabe berkemungkinan menjadi limpahan dari konsumen kelas menengah ke atas yang tidak bisa tertampung lagi di Cinere.

Pada akhirnya, derap laju sektor real estat di Pondok Cabe pun  bakal ditopang oleh perkembangan di Sawangan yang merupakan kawasan tetangga. Saat ini, Sawangan terlihat punya kesamaan dengan Pondok Cabe: perkembangan sektor real estat di sana lebih membidik segmen menengah, sementara beberapa titik pemicu kenaikan segmen mulai terlihat; itu antara lain ditandai kehadiran developer besar. Bila sektor real estat Sawangan dan Pondok Cabe bersama bangun dari tidur, efeknya bisa lebih ampuh. Akan muncul sebuah kawasan real estat baru yang punya prestis apik, terintegrasi, dan lintas-propinsi.

Akankah sektor real estat di Pondok Cabe (dan juga Sawangan) pada akhirnya naik peringkat dari segmen menengah menjadi menengah ke atas? Pula, akankah Pondok Cabe menjadi kawasan real estat yang kurang-lebih setara Serpong, kecamatan lain di Kota Tangerang Selatan yang lebih dulu berlari kencang? Jawaban pertanyaan itu jelas menarik untuk kita cermati bersama di tahun-tahun mendatang.

*Achmad Adhito, Penulis Buku Lokasi Emas Properti dan Jangan Ambil KPR Sekarang (Bersama Budi Santoso dari Federasi Pembangunan Perkotaan Indonesia). (Sumber : wiraland.wordpress.com)

Sekolah Internet Marketing

Monday, August 5, 2013

Wiraland Kembangkan Segitiga Emas Baru di Selatan Jakarta

Pada pertengahan 2013 ini, Wiraland Property Group akan mengembangkan kawasan dengan potensi luar biasa di selatan Jakarta yang merupakan bagian dari daerah yang diburu pencari property saat ini. Wiraland Property Group memiliki visi untuk mengembangkan sebuah kota mandiri yang berada di titik pertemuan tiga provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. 

Selain itu, kawasan ini menyatukan area di tiga provinsi tersebut dalam satu kawasan “Segitiga Emas Baru” yang akan membentang dari Pondok Cabe, Tangerang Selatan sampai ke Cinere, Depok mengambil nama Southcity. Kawasan ini berada di antara tiga jalan tol dan nantinya dapat diakses melalui tiga pintu tol. Nantikan segera berbagai bangunan dan fasilitas mal, ruko, rukan, mix use building, apartemen, perkantporan, perumahan, sekolah, rumah sakit, dan lainnya di Southcity.

Sekolah Internet Marketing

Saturday, June 8, 2013

CINERE dulu dan sekarang

Penasaran dengan asal muasal daerah Cinere? Simak sekelumit kisah wilayah ini sejak jaman penjajahan hingga kini...  Pada masa awal kolonial di wilayah Cinere (Ci Kanyere) terdapat satu hamparan lahan milik Isaac de I’ Ostale de Saint Martin (lahir di Oleron, Bearn, Prancis tahun 1629) yang bekerja untuk VOC. Pada era kemerdekaan Cinere bahkan tidak pernah dibicarakan, karena pada waktu itu, Cinere hanyalah kumpulan desa yang didiami oleh orang Betawi yang di sana sini masih banyak hutan karet,sawah dan rawa-rawa. Namun kini, kadang Cinere lebih populer dibanding Depok atau Cimanggis. Mengapa Cinere menjadi populer khususnya bagi warga Jakarta?

Sebelum tahun 1999, Desa Cinere masuk wilayah Kabupaten Bogor. Sementara Kota Adimistratif (Kotif) Depok yang dibentuk tahun 1981 hanya terdiri dari tiga kecamatan, yaitu: Pancoran Mas, Beji dan Sukmajaya. Dalam perkembangannya, status Kotif Depok pada tahun 1999 ditingkatkan menjadi Kota Depok dengan menambah tiga kecamatan yang sebelumnya masuk wilayah Kabupaten Bogor, yakni: Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Limo. Nama Desa Cinere merupakan salah satu dari delapan desa yang berada di Kecamatan Limo. Namun demikian, pada waktu itu nama Cinere jauh lebih dikenal daripada Limo sebagai nama kecamatan.

Secara georafis, sesungguhnya wilayah Cinere di Kecamatan Limo, Kota Depok secara sosial budaya berada di wilayah geografis Jakarta. Dengan kata lain, wilayah Cinere ini tampak menjorok masuk ke dalam wilayah Jakarta. Dari sisi pandang Kota Depok sekarang, wilayah Cinere berada persis di ‘Kepala Garuda’ Kota Depok. Maka itu, warga Jakarta sering keliru menganggap Cinere adalah bagian dari Jakarta, demikian juga warga Depok keliru menganggap Cinere masuk Jakarta. Padahal, kenyataannya wilayah Cinere masuk wilayah Kecamatan Limo yang merupakan bagian wilayah Kota Depok. Pada tahun 2007, Kecamatan Cinere terbentuk (pemekaran dari Kecamatan Limo) yang melengkapi 11 kecamatan di Kota Depok. Kecamatan Limo terdiri dari empat kelurahan, yaitu: Cinere, Gandul, Pangkalan Jati Lama dan Pangkalan Jati Baru. Empat kelurahan inilah yang secara ‘defacto’ berada di wilayah sosial DKI Jakarta, tetapi secara ‘dejure’ merupakan wilayah administratif Kota Depok.

Pada awal pembangunan, nama Depok dan nama Cinere dikenal masyarakat luas hampir bersamaan. Tahun 1979 di wilayah Cinere sebuah pengembang swasta yang menguasai lahan yang kini luasnya telah mencapai 300 Ha mulai membangun perumahan. Sementara di Depok pada tahun 1976 Perum Perumnas (milik pemerintah) sudah memulai pembangunan perumnas pertama di Indonesia. Di perumnas Depok rumah yang dibangun ditujukan untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah, sementara di kavling pemukiman Cinere, rumah-rumah yang dibangun justru untuk ‘pasar’ dari kelompok masyarakat menengah ke atas. Dua wilayah pemukiman ini umumnya dihuni oleh ex penduduk Jakarta.

Namun karena, rumah-rumah yang dibangun di wilayah Cinere lebih berkualitas dan lebih mewah maka dengan sendirinya warga Jakarta lebih memfavoritkan Cinere sebagai daerah hunian dibanding Depok. Dari sisi inilah popularitas Cinere terkesan lebih tinggi dibandingkan Depok waktu itu. Seiring dengan perubahan waktu, dua wilayah awal perumahan ini terus membentuk jatidirinya masing-masing. Wilayah perumahan

Depok kemudian diunggulkan ketika akses ke Depok lebih baik dibandingkan wilayah Cinere. Lebih-lebih dengan kehadiran Universitas Indonesia di Kota Depok, maka popularitas wilayah perumahan Depok semakin melejit dibandingkan dengan Cinere. Namun demikian, popularitas wilayah pemukiman Cinere yang sempat memudar mulai bersinar kembali seiring dengan adanya rencana akses tol dari dua arah menuju Cinere: dari arah Antasari (tol Desari) dan dari arah tol Jagorawi (Cijago).

Bagaimana pula jika Cinere dihubungkan ke daerah tangerang Selatan (TangSel) oleh sebuah jalan besar? Kita tunggu saja rencana pembangunan selanjutnya. (Sumber : www.wiraland.wordpress.com)

Sekolah Internet Marketing