Apa yang terjadi tatkala kita di hari kerja ataupun jam sibuk
menyusuri Kelurahan Pondok Cabe, Kota Tangerang Selatan? Hampir pasti
jawaban pertanyaan itu sebagai berikut: bersua dengan kemacetan lalu
lintas nan cukup berat. Jawaban lain sangat mungkin sebagai berikut:
menikmati kemacetan dengan melihat papan penunjuk arah kompleks real
estat yang bertaburan di sana. Perkembangan sektor real estat di Pondok
Cabe memang lumayan sekalipun sejauh ini akses jalan dari/ke sana masih
kecil, dan macet.
Bersamaan itu, perkembangan serupa terjadi di kawasan tetangga Pondok
Cabe. Di Kecamatan Sawangan (Depok, Jawa Barat) kini kompleks real
estat terus bermunculan. Dan jangan lupa bahwa Kecamatan Cinere (Depok,
Jawa Barat) telah lebih dulu berderap kencang, telah sejak lama dikenal
sebagai salah satu kawasan real estat bergengsi di Jabodetabek (Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi).
Jadi, Pondok Cabe disandingi oleh dua kawasan lain di mana sektor
real estat berkembang baik seperti yang telah disebutkan. Itu adalah
Sawangan dan Cinere. Kalau Cinere sebagai salah satu tetangga telah lama
berkembang baik—bahkan di lokasi tertentu telah kehabisan land bank, bagaimana kira-kira untuk Pondok Cabe ke depan? Akankah sepesat Cinere?
Ditentukan Dua Pihak
Mengacu data statistik dari Pemerintah Kota Tangerang Selatan, ada
dua Kelurahan Pondok Cabe. Ada Kelurahan Pondok Cabe Udik dengan luas
483 hektar, dan Kelurahan Pondok Cabe Ilir yang punya luas 396 hektar.
Jadi, total luas dua kelurahan itu melebihi 800 hektar. Dan dua
kelurahan itu dipayungi oleh Kecamatan Pamulang yang seluas 2.682
hektar; total jumlah penduduk Kecamatan Pamulang per tahun 2009 di
217.466 jiwa.
Kepesatan perkembangan real estat di satu kawasan sering ditentukan oleh beberapa pihak. Pertama,
sudah tentu oleh Pemerintah Daerah setempat. Bagaimana tata ruang yang
dirancang? Mereka merencanakan membentuk sebuah kawasan untuk apa?
Apakah sebagian besar dari kawasan itu dirancang untuk permukiman, atau
untuk apa lagi? Dan seperti apa infrastruktur yang disediakan untuk
menopang rencana tersebut? Sebagus apapun rencana pengembangan kawasan,
tentu harus diiringi perkembangan infrastruktur—jalan raya dan
lain-lain—yang memadai.
Per tahun 2009, luas area permukiman di Kota Tangerang Selatan seluas
9.941 hektar. Itu memangsa porsi 67,54 persen dari luas kota yang
sebesar 14.719 hektar. Dari gambaran ini, terlihat jelas bahwa mayoritas “habitat” Kota
Tangerang Selatan (termasuk Pondok Cabe) adalah sebagai area permukiman.
Pun, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Tangerang
Selatan merancang RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) yang membentuk
kota itu sebagai livable dan high tech city. Dalam hal ini, mempunyai pusat teknologi, kota itu akan dibangun dengan sistem grid
yang memudahkan konektivitas antar-wilayah. Itu mengingat letak kota
yang strategis, menjadi penghubung tiga propinsi. Perencanaan jalur
transportasi yang baik diharapkan menciptakan kawasan hunian yang nyaman
(liveable) bagi warga. Dengan semua itu terlihat bahwa, sebagai bagian dari Kota Tangerang
Selatan, sektor real estat ataupun permukiman di Pondok Cabe berpotensi
terus berderap. Dalam hal ini, tata ruang Pemerintah Kota Tangerang
Selatan mendukung penuh hal itu.
Kemudian, pihak kedua yang bisa berperan besar mengerek laju
sektor real estat sebuah kawasan adalah tangan-tangan dahsyat developer
besar. Suka atau tidak, hal ini harus diakui. Dan contoh hal itu bisa
ditemui dengan mudah di Jabodetabek.
Pengamat dari Federasi Pembangunan Perkotaan Indonesia, Budi Santoso,
menjelaskan bahwa kepesatan sektor real estat di Serpong (juga terletak
di Kota Tangerang Selatan) menjadi contoh pas peran dahsyat developer
besar. “Selain membangun properti, developer besar sering bersedia
membangun sendiri infrastruktur jalan. Dan itu penting bagi pengembangan
kawasan. Kalau hanya mengandalkan Pemerintah Daerah, sektor real estat
sering sulit berkembang,” kata dia.
Sekadar tambahan, ada fakta bahwa kini lebih dari setengah area di
Kota Tangerang Selatan dikuasai oleh kalangan developer. Jadi, memang di
tangan merekalah “nasib” kota itu ditentukan. Pada titik inilah, Pondok Cabe seakan menemui sebuah titik cerah. Pasalnya, beberapa developer besar telah ataupun akan menyinggahi
kawasan tersebut. Telah lama, satu developer terkemuka membesut
kompleks perumahan seluas 60-an hektar di Pondok Cabe.
Kemudian, satu developer besar lain diinformasikan siap membesut
kompleks real estat seluas 50-an hektar di Pondok Cabe. Dikabarkan, area
itu tak hanya diisi kompleks perumahan. Tapi, diisi pula oleh kompleks
perkantoran, pusat belanja modern (mal), kompleks apartemen, dan
lain-lain. Dua kawasan real estat seluas puluhan hektar itu menyandingi sejumlah
perumahan berukuran lahan lebih kecil—beberapa di antara itu berwujud cluster
(blok perumahan)—yang telah banyak terdapat di Pondok Cabe. Dua kawasan
itu berpotensi memicu pertumbuhan sektor real estat di sana.
Saat ini, rumah ataupun properti lain di Pondok Cabe cenderung
membidik segmen konsumen kelas menengah. Jadi, dalam hal segmen
tersebut, Pondok Cabe belum seperti kawasan Cinere yang telah lama
dikenal sebagai salah satu kantung pemukiman kelas menengah ke atas di
Jabodetabek—khususnya di lokasi yang dikembangkan Grup Megapolitan. Nah,
manakala developer besar yang membesut Pondok Cabe lebih banyak,
kemungkinan kenaikan segmen tersebut bisa lebih besar. Dan nilai
keseluruhan real estat di sana turut meloncat.
Yang terjadi di Kota Bekasi belum lama ini pas menjadi ilustrasi.
Tatkala satu developer besar mengembangkan kompleks CBD kelas menengah
ke atas di pusat kota, harga unit real estat di sekitarnya ikut
terkerek. Dulu saat kehadiran CBD itu masih di titik sangat awal,
sejumlah pemilik unit rumah ataupun ruko (rumah toko) di sekitarnya ikut
menaikkan harga jual.
Berkaca dari itu, kehadiran developer besar di Pondok Cabe berpeluang menjadi trigger point
bagi kenaikan segmen real estat di sana. Dari yang sekarang lebih di
kelas menengah, bergeser ke kelas menengah ke atas. Dan sudah tentu,
besutan developer besar itu berpotensi semakin meriuhramaikan
keseluruhan sektor real estat di Pondok Cabe—terlepas dari kelas jalan
di sana yang saat ini belum memadai, masih berukuran kecil.
Bila segmen konsumen itu naik, Pondok Cabe sangat mampu menjadi
duplikat dari kawasan Cinere. Dengan kata lain, dalam tahun-tahun ke
depan, Pondok Cabe berkemungkinan menjadi limpahan dari konsumen kelas
menengah ke atas yang tidak bisa tertampung lagi di Cinere.
Pada akhirnya, derap laju sektor real estat di Pondok Cabe pun bakal
ditopang oleh perkembangan di Sawangan yang merupakan kawasan tetangga.
Saat ini, Sawangan terlihat punya kesamaan dengan Pondok Cabe:
perkembangan sektor real estat di sana lebih membidik segmen menengah,
sementara beberapa titik pemicu kenaikan segmen mulai terlihat; itu
antara lain ditandai kehadiran developer besar. Bila sektor real estat
Sawangan dan Pondok Cabe bersama bangun dari tidur, efeknya bisa lebih
ampuh. Akan muncul sebuah kawasan real estat baru yang punya prestis
apik, terintegrasi, dan lintas-propinsi.
Akankah sektor real estat di Pondok Cabe (dan juga Sawangan) pada
akhirnya naik peringkat dari segmen menengah menjadi menengah ke atas?
Pula, akankah Pondok Cabe menjadi kawasan real estat yang kurang-lebih
setara Serpong, kecamatan lain di Kota Tangerang Selatan yang lebih dulu
berlari kencang? Jawaban pertanyaan itu jelas menarik untuk kita
cermati bersama di tahun-tahun mendatang.